Sosmed:

Tuesday 21 April 2015

Hukum Puasa Menjelang Ramadhan








Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Jangan kalian dahulukan bulan Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari, kecuali seseorang yang telah terbiasa melakukan puasa maka bepuasalah.” HR. Al-Bukhari (Fahtul Bari4/127) dan Muslim no. 1082.
Hadits ini merupakan dalil atas pelarangan bepuasa tepat sebelum masuk bulan Ramadhan, yaitu dengan berpuasa satu hari atau dua hari tanpa ada kebiasaan sebelumnya, untuk menjaga bersambungnya puasa sunnah dengan puasa wajib di bulan Ramadhan. Karena puasa wajib merupakan ibadah yang ditentukan waktunya yaitu dengan melihat bulan (ruyatul hilal), maka berpuasa sebelum waktunya merupakan pelanggaran atas perintah Allah, dan ini merupakan perantara dalam berlebihan dalam ibadah. 
At-Tirmidzi mengomentari hadits di atas; “pekerjaan ini (puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan –pent) menurut ahli ilmu, mereka membenci seseorang berpuasa tergesa-gesa sebelum masuknya waktu Ramadhan, dengan maksud untuk puasa Ramadhan.” 
Dan dapat diambil faidah dari hadits di atas adanya larangan untuk berpuasa di hari yang meragukan, karena pelarangan atas puasa sebelum tibanya bulan Ramadhan berarti larangan berpuasa di waktu sebelum ketetapan waktu tibanya bulan Ramadhan. 
Adapun bagi yang telah terbiasa berpuasa sunnah seperti puasa pada hari Senin dan Kamis, atau puasa sehari dan tidak puasa sehari setelahnya secara bergantian, kemudian bertepatan dengan akan datangnya bulan Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya, maka tidak mengapa karena tidak adanya kekhawatiran larangan yang dimaksud oleh hadits nabi di atas. Begitulah bagi orang yang akan melaksanakan puasa wajib seperti puasa nadzar atau kaffarahqadhabagi Ramadhan sebelumnya, maka ini semua diperbolehkan, karena semuanya ini bukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. 
Jika dikatakan, apa jawaban dari hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang laki-laki:  “apakah kau berpuasa di akhir bulan, atau Sya’ban?” Dia menjawab: “tidak,” kemudian Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila kau telah berbuka (selesai menuaikan puasa – pent) dari bulan Ramadhan, maka berpuasalah dua hari pada tempatnya (waktu kamu biasa berpuasa di setiap akhir bulan –pent).” [HR. Al-Bukhari 3/230, Muslim 1161]  Apakah hadits ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang berpuasa di akhir bulan Sya’ban? 
Maka jawabnya; sesungguhnya tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan hadits Abu Hurairah di awal tulisan di atas. Karena hadits ‘Imron mengandung arti bahwa seseorang yang telah terbiasa berpuasa di akhir bulan, kemudian dia meninggalkannya karena kuatir dengan larangan berpuasa menjelang tibanya bulan Ramadhan dan tidak sampai padanya pengecualian atas kebiasaannya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa puasa yang telah menjadi kebiasaan tidak termasuk dalam larangan tersebut, dan beliau menyuruh untuk meneruskan kebiasaannya atas ibadah puasa di akhir bulan tersebut, karena sebaik-baiknya amalan yang dicintai Allah adalah yang berkelanjutan. [lihat Tahdzibul Sunankarya Ibnu Qayim 3/221]. 
Ada juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “jika telah masuk setengah bulan Sya’ban maka janganlah berpuasa.” Dan di riwayat yang lain, “janganlah sekali-kali satupun berpuasa.” Dan diriwayat yang lain, “Jika telah datang setengah dari bulan Sya’ban maka berbukalah dari puasa hingga datangnya bulan Ramadhan.” Dari hadits dengan riwayat-riwayat yang berbeda ini terdapat dua jawaban: 
Pertama, hadits-hadits dengan lafadz yang berbeda di atas telah terjad perbedaan pendapat antar para ulama antara shahih dan dha’if.
Kedua, Adapun yang berpendapat bahwa hadits di atas adalah shahih, maksudnya adalah puasa sunnah yang muthlak yang baru dimulai semenjak pertengahan bulan Sya’ban. Adapun bagi mereka yang mempunyai kebiasaan berpuasa sunnah Senin dan Kamis, atau satu hari puasa dan satu hari berikutnya berbuka, atau yang menyambung dari pertengahan pertama dan kedua bulan Sya’ban, atau yang memiliki tanggungan puasa qadha, maka tidak termasuk yang dilarang dari hadits tersebut. 
Dan telah tetap sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang puasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berkata: “Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga bersambung dengan bulan Ramadhan.”  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Dan beliau lebih bersungguh-sungguh dalam berpuasa Senin dan Kamis.” 
 Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, karena puasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bulan Sya’ban merupakan kebiasaan dan masuk dalam pengecualian dalam hadits Abu Hurairah; “kecuali seseorang yang telah terbiasa berpuasa maka berpuasalah.” Wallahu ‘alam
Ya Allah…. kami mohon pembuka kebaikan hingga akhir dan seluruhnya, dan kami memohon derajat di dalam surga yang tinggi, Ya Allah sesungguhnya kami mohon iman yang dengannya kami diberikan pentunjuk, cahaya yang dengannya kami diberi penuntun, dan rizki yang halal yang dengannya kami dicukupkan, dan ampuni kami… ya Allah…  dan kedua orang tua kami, dan untuk seluruh umat muslimin….., shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad…. 
Terjemah dari Al-Fashl Al-Awwal: Bayna Ramadhan , Al-Hadits Al-Awwal: Hukmu Sabqi Ramadhan bil-Shiyam, dari kitab Ahadits Al-Shiyam Ahkamuhu wa Adabuhu (Riyadh 1422 H/2001 M), karya Abdullah Shaleh Al-FauzaniAl-Ustadz di Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah cabang Qashim.

0 komentar:

Post a Comment